
There are many who would disagree with the idea of Southeast Asia as a geographical, economic, political or cultural unit. For them, the region is just too diverse and inchoate: the cacophony of different voices lacking an over-arching sense of unity.
However, it pays to remember that for centuries Chinese traders at least have referred to Southeast Asia as a coherent whole by calling it ‘Nanhai’ or the Southseas. The phrase evokes an image of promise – rich in minerals, aromatics, hardwood and spices – exotic and enticing. For them, the region’s diversity and cosmopolitanism possessed a commonality in language, in food and most astoundingly in a culture of syncretism and openness.
Over the ages, Southeast Asia’s great entrepôts – Malacca, Sri Wijaya, Ayudhya and Haiphong echoed with a host of different languages, reflecting the countless visitors – Chinese traders, Arabs from the Hadhramaut, Indian textile merchants from Calicut and Baroda, Spanish and Portuguese adventurers, Bugis privateers and Malay seafarers. Whilst today the region has been divided into a slew of nation states under the ASEAN umbrella, the core historical reality is of riverine cities, rice plains, porous borders and interlocking identities.
Still, in terms of business and economics the region has certainly begun to hum with activity. Even though China and India have to a large extent stolen the limelight in recent years, Southeast Asia’s 550 million consumers remain a potent market. Ten years of solid GDP growth at 5-6% combined with strong export-orientated industries has created a thriving middle class and a burgeoning business elite eager to acquire the trappings of the good life.
Indeed most multinationals, ignoring national boundaries, approach the region as a unit. However, in order to comprehend the market, managers, like their predecessors from ancient times, need to learn about the different nuances in terms of culture, society and politics and in this respect art – especially contemporary art, which has become a way of entering the psyche of a nation or a region, exploring the innermost workings of a people as they cope with the challenges of globalisation, digitalization, democratisation, environmental degradation and transparency.
The shifting tides of civilisation and the movement of peoples has meant that the region’s cultures – at their core animistic and folkloric – have always had the ability to absorb the foreign and the new. Religions have entered the region and been embraced – Hindu and Buddhist traditions from the subcontinent, Confucian thinking from the Middle Kingdom, Islam from across the Indian Ocean and Christianity from the Europeans.
Indeed the cultural and civilisational brilliance of the region (and the rationale of much Southeast Asian contemporary art) lies in the way its people have been able to make the foreign and the alien familiar – shaping, for example, a localised Nusantara response to the great global faiths. Witness the Nahdlatul Ulama’s sway in East Java, Bali’s spirit-infused Hinduism and the Cao Dai and Hoa Hao sects of Vietnam’s Mekong delta region or the El Shaddai sect in the Philippines.
Similarly, foreign artifacts have in certain cases, taken on a heightened significance once they enter the region. Ceramics from the kilns of Fujian, Annam and Sawankhalok from Central Thailand and textiles from India have become venerated objects, treasured by the peoples of Eastern archipelago. Even the most humble weavers from Sarawak, Laos or Palembang have appropriated ideas – things they’ve seen and heard – into their elegant puas and ikats, telling visual stories that link the present both with the past and the future.
Given the wealth of sources, it is unsurprising that successive generations of artists have drawn from this rich pool of experience and tradition, shaped in turn by the vast historical events of the 20th Century – the Second World War, the Japanese invasion, the collapse of the colonial powers and Independence, followed by the dizzying excitement of nationalism that intoxicated artists for many decades as they sought to achieve a sense of identity that was intrinsically Thai, Indonesian or Filipino.
With the advent of the new century and after decades of peace and at times hard-won prosperity, the region’s artists have grown less enamoured of nationalistic causes. Disenchanted with political leaders and business élites, many of the region’s best artists have returned to art-making in its purest form – exploring the personal impulses, memory, love and loss behind their own creativity, drawing the universal from the particular.
Valentine Willie
Ada banyak orang yang menyanggah gagasan bahwa Asia Tenggara merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi, politik maupun budaya. Bagi mereka, kawasan ini terlalu beragam dan tidak memiliki jati diri yang tegas di tengah hiruk pikuk berbagai suara berbeda, tanpa pula dipayungi rasa persatuan yang menyeluruh.
Namun, penting untuk mengingat bahwa selama berabad-abad, pedagang Cina telah merujuk Asia Tenggara sebagai suatu kesatuan yang jelas. Mereka menyebut kawasan ini ‘Nanhai’ atau Lautan Selatan, sebutan yang melantunkan pencitraan nan menjanjikan – kaya hasil tambang, wewangian, kayu dan rempah-rempah: eksotik sekaligus menggiurkan. Bagi mereka, terlepas dari keanekaragaman dan kemajuannya yang pesat, kawasan ini memiliki persamaan dalam hal bahasa, hidangan dan, yang paling menarik, sebuah kultur yang bersifat sinkretis dan terbuka.
Selama berabad-abad, pusat-pusat perdagangan Asia Tenggara – Melaka, Sri Wijaya, Ayodhya dan Haiphong bergema dengan beraneka ragam bahasa yang mencerminkan pengunjungnya yang tak terhitung – pedagang Cina, orang-orang Arab dari Hadramaut, pemasok tekstil India dari Kalikut dan Baroda, petualang Spanyol dan Portugis, armada bayaran Bugis dan para pelaut Melayu.
Walau kawasan ini sekarang terbagi dalam sejumlah negara di bawah payung ASEAN, benang merah sejarah tetap membeberkan perkembangan kota-kota tepi sungai, hamparan persawahan, perbatasan yang semu dan jati diri yang saling bertautan.
Namun demikian, dalam hal bisnis dan ekonomi kawasan ini mulai mendengungkan aktivitas. Meskipun Cina dan India telah mencuri sorotan dunia belakangan ini, 550 juta konsumen Asia Tenggara tetaplah pasar yang berpotensi. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto sebesar 5-6% selama sepuluh tahun terakhir disertai perkembangan industri yang berorientasi ekspor telah menciptakan kelas menengah yang berada dan kaum usahawan elit yang ingin segera memiliki segala hal yang memberi citra hidup mapan.
Memang sebagian besar perusahaan multinasional, tanpa mempedulikan batas-batas negara, mendekati kawasan ini sebagai satu kesatuan. Namun, untuk memahami pasar, para pengelola, seperti pendahulu mereka di masa lalu, perlu belajar mengenai nuansa budaya, masyarakat, politik, dan tentunya seni – terutama seni kontemporer, yang telah menjadi cara untuk merasuki alam pikiran sebuah negara atau kawasan, menjelajahi jati diri terdalam suatu bangsa saat mereka berusaha menghadapi tantangan globalisasi, era digital, demokratisasi, degradasi lingkungan dan transparansi.
Pasang surutnya peradaban serta pergerakan manusia menunjukkan bahwa kebudayaan kawasan ini – yang intinya merupakan animisme dan berdasar pada kearifan setempat – selalu memiliki kemampuan untuk menyerap hal asing dan baru. Agama yang memasuki kawasan ini telah dirangkul – tradisi Hindu dan Buddha dari India, pemikiran Konfusius dari Cina, Islam dari seberang Samudera Hindia dan Kristen dari orang-orang Eropa.
Memang kecemerlangan budaya dan peradaban kawasan ini (dan dasar pemikiran di balik sebagian besar seni kontemporer Asia Tenggara) terletak pada bagaimana masyarakatnya berhasil membuat hal-hal asing menjadi jamak – membentuk, misalnya, tanggapan lokal Nusantara terhadap agama-agama besar dunia. Lihat saja pengaruh Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, Hindu di Bali yang mistis dan sekte Cao Dai serta Hao Hao di delta sungai Mekong di Vietnam atau sekte El Shaddai di Philipina.
Demikian juga benda-benda asing yang terkadang memperoleh nilai yang lebih tinggi setelah memasuki kawasan ini. Keramik dari tungku-tungku Fujian, Annam dan Sawankhalok di Thailand Tengah dan tekstil dari India telah menjadi benda-benda yang disucikan, dianggap harta warisan leluhur oleh orang-orang di Nusantara bagian timur. Bahkan para penenun tradisional Sarawak, Laos serta Palembang telah meresapi pemikiran dari hal-hal yang mereka lihat dan dengar ke dalam tenunan pua dan ikat mereka yang elegan, menuturkan kisah visual yang menghubungkan masa kini dengan masa lampau sekaligus masa depan.
Mengingat kekayaan sumber-sumbernya, tidaklah mengherankan bila generasi demi generasi seniman telah menimba gagasan dari pengalaman dan tradisi yang kaya ini, yang terbentuk pula oleh peristiwa-peristiwa besar sejarah abad ke-20: Perang Dunia Kedua, pendudukan Jepang, runtuhnya kekuasaan kolonial dan tercapainya Kemerdekaan, disusul dengan semangat nasionalisme yang menggebu-gebu yang memabukkan para seniman selama berpuluh-puluh tahun selagi mencari jati diri dalam pribadi Thailand, Indonesia maupun Filipina.
Di ambang abad baru ini dan setelah puluhan tahun berdamai dan terkadang meraih kemakmuran berkat usaha keras, seniman kawasan ini tidak tergila-gila lagi dengan nasionalisme. Akibat dikecewakan para pemimpin politik dan kaum usahawan, banyak seniman terbaik di kawasan ini kembali pada penciptaan karya seni dalam wujudnya yang paling murni – eksplorasi hasrat pribadi, kenangan, cinta dan kehilangan di balik kreativitas mereka sendiri, menggambarkan hal yang universal dari hal-hal yang pernah dianggap remeh.
Valentine Willie (diterjemahkan oleh Kadek Krishna Adidharma)